Thursday, January 8, 2015

Teman yang Sakit

Saya tadi ke Kehidupan yang di Jalan Pajajaran bersama teman PSM, Rico dan Dwi, untuk mencari sponsor. Itu kali pertama saya kesana, dan sepertinya saya tidak mau kesana lagi. Kata Rico makanannya enak. Tapi tetap saja saya tidak tertarik kembali kesana. Suasananya membuat saya kurang nyaman. Kata Rico mungkin karena suasananya Cina banget, saya kurang ngerti maksudnya apa sih. Soalnya saya tidak tahu restoran di Cina seperti apa (btw saya tulis Cina bukan Tiongkok karena kejadian aslinya begitu ya, bukan karena gatau keppres tentang itu hehe).

Tapi sebenarnya yang membuat saya tidak nyaman mungkin karena kursi dan mejanya putih, suasana bersih yang aneh, pokoknya mengingatkan saya pada suasana rumah sakit. Nah, jadi masuk deh ke yang mau saya ceritain. Maaf ya intronya panjang haha

Sebenarnya rumah sakit juga sumber kebahagiaan ketika seorang pasien sembuh atau saat bayi lahir sehat. Tapi orang sehat dan sembuh tidak akan berlama-lama disana sehingga yang tinggal adalah orang sakit. Rumah sakit terasa suasana muram dan sedihnya menurut saya.
Saya tidak suka--atau bisa juga disebut takut atau lebih tepat kurang nyaman--dengan suasana sedih. Dulu ketika saya masih SMP, saya tidak bisa melihat orang menangis. Maksud saya bukan orangnya menjadi tak kasatmata, tapi saya jadi ingin buru-buru pergi karena kasihan dan tidak tahu harus berbuat apa.
Saya tidak takut dokter, karena umumnya mereka baik. Tapi saya tidak mau jadi dokter. Ya Anda benar. Saya tidak mau jadi dokter karena nanti saya akan banyak menemui orang sedih dan jadi bingung harus berbuat apa. Karena itu saya pillih daftar kuliah di sini bukan di FK UNPAD.

Sebelum pergi ke Kehidupan, tadi saat pertandingan sepakbola, teman saya Fahrur menjadi sakit. Menurut cerita teman yang melihat, Fahrur terjatuh saat melindungi gawang, kemudian kejang-kejang. Dia dibawa ke Bumi Medika Ganesa (BMG) lalu dirujuk ke RS Borromeus untuk CT Scan.
(Suatu hari setelah kelas Kewarganegaraan, Orvin, Fahrur, Astari, dan saya pernah mengobrol panjaang sekali tentang hidup. Dua jam lebih mungkin. Sejak saat itu saya merasa dekat dengan Orvin dan Fahrur. Kalau Astari memang sudah dekat dari sebelumnya. Ini FYI aja haha.)
Saya khawatir dan ingin menjenguk. Teman-teman yang lain, seperti Atria dan Sahilaushafnur misalnya, banyak yang ada disana.  Tapi kemudian saya batal pergi ke Borromeus. Saya tidak berani. Padahal saya tahu banyak yang bisa saya lakukan untuk membantu seandainya saya disana. Payah sekali, hanya karena takut rumah sakit.

Setelah pergi ke Kehidupan, saya menyadari hal lain juga, yaitu alasan saya takut darah. Hal itu  karena darah biasanya berhubungan dengan kesedihan. Saya juga mengerti kenapa suatu saat ketika ada adik kelas (saya tidak tahu namanya) tidak sengaja melukai tangannya karena pecahan lensa kamera pada saat pembuatan dokumentasi wisuda, saya tidak takut atau menjauh dari dia. Adik kelas itu tetap tenang dan masih sempat memaki, bukannya sedih+panik+takut. Itu penyebabnya.

Post ini panjang sekali. Maaf ya.

0 comments:

Post a Comment