Friday, April 17, 2015

Kerja Praktik 4: Mengejar Mimpi ke Jakarta (lagi)

Although the title is in Bahasa Indonesia, I would like to talk to you in English right now.

Why all of a sudden?
I am a bit disappointed for my English.
Well, maybe a bit more.

English is now this week's hottest issue for me.
In Thursday, I had to do 40-multiple-choices assessment test following my application for freelance-teacher position (teaching English) in an education company in Bandung. Actually, I am pretty confident about the assessment test. But I just thought that I should have done better. My English has been 'dull' because I never use it anymore. Well, in the micro-teaching test the panelists seemed satisfied so I was not worried about the Thursday.

And here comes the Friday.
I had to go to Jakarta for an interview. This was the first time I went to Jakarta by myself. Because dreams dont work unless you do, I had to do my best to work-everything's-out.
Booked DayTrans Dipati Ukur-Senayan City and Senayan City-Dipati Ukur for IDR 125.000 each. First time to travel using a 'travel'. First time to have lunch in Plaza Senayan. First time to attend a job interview. First time to have interview in English.

Well everyone has their first time so nothing to worry.

But I worried too much. Worried about the interview I mean.

I was scheduled to have an interview with Ms. Anggi at 3 pm.

2.10 pm: already arrived at the company's office
2.20 pm: feeling relaxed but excited
2.30 pm:"I'm okay, everything will be fine"
2.40 pm: 20 minutes to go
2.50 pm: Ms. Novlyza, the Talent Supply Assistant, greeted me and told me to wait a sec, she was going to looked for the interviewer
3.00 pm: "where is the interviewer? Is it me or the air conditioner is colder than before? My hands are shaking"
3.10 pm: the next candidate scheduled for interview at 4 pm had arrived
3.20 pm: Ms. Anggi was there waving at me. OMG.

And there goes the interview. Slow but (not) sure. Almost all of the questions were already expected. Nothing beyond expectation. Except the "walking-on-the-tight-rope" feeling. And it's killing me, killing me softly, Robbie William said.

I have never worried about my English skill. And that time, the confident was cracked. Don't know how to say a word. Everything was only in the head, the complete-sentence-answer I was expected to deliver was gone. Almost everything I said were like main point without explanation. Something the interviewer couldn't understand.

I hope this is not the end, need one (or more) chance(s) to make everything up, set everything right. An email is what I am waiting for right now.
Read More

Tuesday, April 7, 2015

Hidup 2: Prinsip

pa·ra·dig·ma n 1 Ling daftar semua bentukan dr sebuah kata yg memperlihatkan konjugasi dan deklinasi kata tsb; 2 model dl teori ilmu pengetahuan; 3 kerangka berpikir

di·a·lek·ti·ka /dialéktika/ n 1 hal berbahasa dan bernalar dng dialog sbg cara untuk menyelidiki suatu masalah; 2 ajaran Hegel yg menyatakan bahwa segala sesuatu yg terdapat di alam semesta itu terjadi dr hasil pertentangan antara dua hal dan yg menimbulkan hal lain lagi


Saya tertarik pada kedua kata di atas berkat obrolan bersama Zuhditazmi dan Aris saat perjalanan pulang dari Dapur Laut menuju himpunan.

Kata paradigma telah sering saya dengar sejak SMA, tapi saat itu tidak lumrah untuk digunakan dalam percakapan sehari-hari.
Kata dialektika baru saja saya dengar sebulan lalu dan hari ini adalah kali pertama saya dengar kata ini digunakan dalam percakapan antarteman (maksud saya bukan percakapan di meja rapat).

Karena dekat kaitannya dengan kedua kata tadi, saya jadi ingin bicara soal prinsip dan usaha penyelesaian masalah.

prin·sip n asas (kebenaran yg menjadi pokok dasar berpikir, bertindak, dsb); dasar; 

asas n 1 dasar (sesuatu yg menjadi tumpuan berpikir atau berpendapat); pada -- nya, saya setuju dng pendapat Saudara; 2 dasar cita-cita (perkumpulan atau organisasi): sebelum memasuki suatu organisasi, kita harus tahu -- dan tujuannya3 hukum dasar: tindakannya itu melanggar -- kemanusiaan

Prinsip yang dijadikan pegangan oleh seseorang akan mempengaruhi cara orang tersebut berpikir dan bertindak. Karena itulah dari perbedaan prinsip ini akan timbul perbedaan cara berpikir dan bertindak. Karena perbedaan cara berpikir dan bertindak, solusi yang ditawarkan untuk sebuah masalah yang sama akan berbeda untuk masing-masing orang.
(Anw ini keyakinan saya, bukan merupakan hasil studi pustaka haha)

Prinsip yang menurut saya sering saya aplikasikan adalah proses berharga jika outputnya berharga. Karena itu saya tidak pernah berpikir untuk kenikmatan berpikir itu (haha apa tuh). Maksud saya, proses berpikir yang membutuhkan energi dan waktu itu semestinya ditujukan untuk memperoleh solusi sebuah permasalahan. Buat apa berpikir kalau keluarannya tidak ada guna, kasarnya begitu.

Obrolan kami bertema "paradigma wanita berjilbab yang pacaran lebih berdosa dibanding wanita tidak berjilbab pacaran".
Nah, saya sepanjang perjalanan tadi itu berada dalam keadaan bertanya-tanya. Keluaran dari obrolan+diskusi+debat ini akan seperti apa? Buat apa pusing-pusing pikirkan ini? Kenapa berdebat untuk hal yang tidak berefek apa-apa pada diri kami bertiga? Buat apa membanding-bandingkan cara pandang tapi tidak berusaha mencapai kesimpulan? Saya ngerti sih dua orang ini hobi berpikir, tapi saya tidak. Jadinya cuma beropini seadanya saja, sisanya menyimak hahahah

Kalau kata Alina sih "toh obrolan itu tidak akan mengubah apapun"

Pertanyaan saya tadi juga muncul ketika ada audiensi atau hearing. Ketika konten pertanyaan penanya tidak bersifat membangun, tidak pula mencari solusi sebuah masalah, saya bingung kenapa mesti dibahas.

Berkaitan dengan prinsip tadi, saya suka menentukan milestone untuk setiap pekerjaan yang saya lakukan. Biar terasa prosesnya berharga, harus ditentukan outputnya apa dalam waktu berapa lama. Gitu sih. Dah
Read More

Friday, April 3, 2015

Furious 7

Intro


1 April kemarin saya nonton Furious 7 di blitzmegaplex gara-gara dapet poin 156.500 rupiah dari blitzcard. Karena poinnya berlaku sampai 31 Maret dan semesta sedang mendukung, dibelilah 4 tiket pake poin dan 1 tiket pake balance. Saya nontonnya berlima bareng ayah, ibu, dan kedua adik.

The Review

Saya tertarik sama film ini karena 4 hal:
1. Jason Statham dan after credit Furious 6 yang luar biasa
2. penasaran gimana ngisi kekosongan Paul Walker
3. sutradara ganti
4. one last ride

Cuplikan after credit Furious 6 bisi ada yang lupa:
"Dominic Toretto, you don't know me. You're about to"

Karena after credit Furious 6 yang seperti itu, sudah selayaknya Furious 7 ini menjawab tanda tanya yang muncul di kepala penonton saat itu. Siapa sih si Statham ini? Apa yang mau dia lakukan kepada Toretto? Kenapa dia bunuh Han di Tokyo? Sayangnya jawaban dari pertanyaan-pertanyaan ini bukan fokus utama dari Furious 7 dan hanya dijawab dengan menit-menit awal film saja. Terus isi filmya ngapain?

Film ini dibuka dengan munculnya Jason Statham, sehingga saya senang haha. Yang saya tidak senang adalah karena Statham alias Deckard Shaw ini terasa seperti karakter tempelan. Saya kira film ini akan bercerita tentang Shaw vs. Toretto's team, bahkan disalah satu poster tagline-nya "Vengeance Hits Home". Namun ternyata, yang disuguhkan pada film ini adalah government featuring Toretto vs. Jakande. Shawnya jarang muncul, jarang ngomong pula. Ga ngerti pula kenapa Toretto nge-iyain untuk bantu government cari God's Eye demi cari Shaw. Orang yang mau revenge Shaw, pastilah Shaw yang samperin dirinya tanpa diminta, kenapa mesti dapetin God's Eye biar ketemu. Padahal pas mau dapetin God's Eye juga ketemu, kok ga sekalian revenge aja. Harus rebutan God's Eye dulu baru berantem beneran gitu? Heran.

Berdasarkan hasil wawancara di sini, sang sutradara ini ingin menyeimbangkan sisi action dengan humor dan drama. Sayang sekali menurut saya ini kurang terasa. Humornya kerasa sih. Karena yang penting dari humor itu timing dan diksi, ya dan mainan ekspresi muka juga. Jagolah Tej dan Roman soal itu.
Tapi drama nggak sekedar itu, butuh bantuan flashback dan alasan yang menggunung biar audience nih terbawa sama suasana dramatisnya, bukan hanya skrip yang sweet. Makanya saya ga bisa mengerti kenapa revenge Shaw terjadi, emang sesayang apa sama adiknya? Hubungan yang rasanya perlu digali itu antara Owen Shaw (antagonis Furious 6) dengan kakaknya Deckard Shaw (antagonis Furious 7). Juga Dom dan Letty selaku tokoh utama. Meski Letty sedang hilang ingatan, kurang kerasa chemistry-nya mereka berdua. Harusnya adegan di letty's funeral lebih menyentuh gitu. Kilas-kilas flashback tiap ada yang bikin ingatannya kembali bisa dibuat agak jelas. Mungkin seru kalau dibuat kaya Unknown. Jangan langsung tetiba ingat semuanya haha.

Aksi pukul-pukulannya menurut saya terasa lebih diperhatikan dibanding prequelnya. Entah gerakannya yang koreografinya lebih bagus atau kameranya yang lebih jago menangkap momen di angle yang pas. Intinya hasil gambarnya lebih indah pas pukul-pukulan. Kalau untuk adegan car chasing dan segala action di atas mobil sih tidak perlu ditanya lagi lah ya, udah jagonya. Actionnya menghibur sekali. Terjun menggunakan parasut, menembus tiga gedung dengan mobil mahal, ide yang tidak pernah saya kira akan muncul di film ini, dan ternyata bikin scene yang memorable buat saya. Nice pak sutradara.

Momen favorit pas Brian duel sama Kiet. Koreo pukul-pukulannya bagus. Terus ada dialog yang diulang jadi kerasa kalau ada link antar dua scene mereka haha. Favorit banget banget perosotan di tangga sama jalan di atas bus. Lebih keren dari Legolas jalan di atas batu runtuh pas film Hobbit 3. haha

Saya cuma ga ngerti aja kenapa endingnya kurang nice. Gedung parkir yang runtuhnya berlebihan dan drone buat ngejar mobil. Agak gimana gitu. Pak bos Jakande yang emosional sekali juga terasa annoying. Almost all of his dialogs are delivered by shouting. Posesif gitu kayanya si bos teh.

Setelah ke-tidak-nice-an ending tadi, datanglah ending yang nice. Toretto parting with Brian. Rasanya tulus dari hati mereka parting bukan hanya di film, namun juga sebagai Vin dan Paul. Kejutan buat saya pas kamera shoot mereka dari atas, berpisah jalan. Bagus banget pula skripnya Toretto di situ. Terharu saya. Nice pak scriptwriter.

Kesimpulan

Action mantap. Humor oke. Drama so-so. Plot NO.
Cocok buat nonton seru-seruan sama teman (dan ngeliatin Statham di big screen), tapi ga cocok buat kajian haha.
Read More

Thursday, April 2, 2015

Lirik: Hujan di Mimpi

Saya lagi suka lagu ini, suara mereka menyenangkan. Setiap bagian kata "sandiwara" saya pasti senyum dengernya haha.

Banda Neira - Hujan di Mimpi

Semesta bicara tanpa bersuara
Semesta ia kadang buta aksara
Sepi itu indah, percayalah
Membisu itu anugerah 
Seperti hadirmu di kala gempa
Jujur dan tanpa bersandiwara
Teduhnya seperti hujan di mimpi
Berdua kita berlari 
Semesta bergulir tak kenal aral
Seperti langkah-langkah menuju kaki langit
Seperti genangan akankah bertahan
Atau perlahan menjadi lautan 
Seperti hadirmu di kala gempa
Jujur dan tanpa bersandiwara
Teduhnya seperti hujan di mimpi
Berdua kita berlari 
Read More

Wednesday, April 1, 2015

Soda Resto & Bar


Kemarin malam, saya bersama teman-teman kebiroan makan di Soda Resto & Bar. Terakhir kali saya makan mahal itu bulan lalu, di Nanny's Pavillon. Itu pun dibayarin Kak Chiquitita dan Kak Surya. Jadi gapapalah buat kali ini habis 100k buat sekali makan haha.

Lokasi Soda Resto & Bar cukup dekat dengan kampus, di Jalan Ir. H. Juanda (Dago) No. 3. Dia jadi satu dengan The 101 Hotel jadi kemarin itu sukses bikin beberapa teman putar balik karena ga juga nemu Soda Resto & Bar meski udah sampai ujung jalan Dago haha. Tempatnya bagus, ada kursi yang tulisannya lucu-lucu, di toilet juga ada tulisan yang lucu tapi nyeleneh. Sofanya warna-warni jadi menyenangkan dipandang mata. Enak buat foto-foto lah intinya hahah

Soal menu, saya sih bingung baca menunya haha. Ga ada tanda 'recommended' sih jadi bingung makanan apa yang diunggulkan. Kalau udah begitu biasanya saya cari aman, antara beli pasta atau schnitzel. Berhubung Adil dan Bunga sudah pesan pasta, akhirnya saya pesan Chicken Cordon Bleu. Buat minuman juga sama saja, berhubung di menu ga ada gambarnya, dan lagi-lagi ga ada tanda 'recommended', saya pesan minuman yang aman saja, Strawberry Smoothies.
(setelah saya sadari, saya harusnya tanya mbaknya ya biar ga nebak-nebak apa yang enak)

Sebenarnya tidak lengkap cerita makanan kalau tidak ada fotonya, tapi ga punya kamera yang baik da jadi we ga difoto makanannya haha. Diceritain aja ya.
Dengan harga 58k, Chicken Cordon Bleu-nya worth it. Kalau kejunya ditambah dikit lagi mantap sih. Tapi segitu juga cukup oke, ada rasa-rasa haha. Sayang saya kurang cocok sama sausnya. Terlalu itu, kurang ini. Tapi bingung apa itu dan ininya. Murni self-preference sih. Tebal ayam sama tepung rotinya pas jadi ga bosen makannya. Nggak bikin kesel juga ngirisnya, ga kaya schnitzel Gigglebox haha.

Smoothiesnya saya nggak cocok, kurang strawberry. Sepertinya ada sesuatu manis yang ditambahkan. Mungkin lidahnya masih belum selevel sama minumannya hahah. Saya nyobain Green Smart punya Fitrenna dan suka, padahal katanya itu pake sawi dan sayur-sayur lainnya. Tapi bener deh enak. Jadi menyesal beli yang aman malah ga enak.

Kesimpulannya Soda Resto & Bar ini cukup oke. Harga segitu emang makanannya dan lokasinya enak. Cuma biasanya saya makan malam cuma habis 15k, jadi ga boleh sering-sering ke sana biar ga bangkrut haha. Mungkin kalo ada traktiran bisa tuh. Amanat cerita: lain kali tanya mbaknya menu apa yang recommended, terutama minuman.
Read More