Saturday, December 20, 2014

Supernova

ini poster filmnya
Kali ini saya ingin menulis soal protes saya terhadap film yang baru rilis minggu lalu, Supernova: Ksatria, Putri, & Bintang Jatuh. Sebenernya bukan protes juga sih, unek-unek aja haha

Kalau dilihat dari record di akun goodreads, saya baca versi novelnya tepat dua tahun lalu, 19 Desember 2012.Waktu itu saya merasa bagian awal novel ini terlalu berat, tapi bukan merupakan masalah. Tinggal gunakan teknik baca cepat skimming, saya bisa langsung masuk ke bagian yang lebih manusiawi. Namun sayangnya, hal ini tidak dapat saya lakukan saat menonton film di bioskop.

Habis ini banyak spoiler.


ini cover novelnya
Di awal film (saya telat sekitar 10 menit), saya bertemu dengan dua orang yang sedang mengobrol. Yang pria dapat saya pastikan adalah Re. Tampilannya yang seperti managing director dan sisa kenangan dari film 5 cm, bahwa Junot adalah pujangga, meyakinkan saya. Yang wanita saya tidak kenal. Butuh waktu beberapa detik lebih lama untuk meyakinkan saya bahwa dia adalah Rana. Entah karena Rana dalam otak saya secara fisik tidak cocok dengan Rana di layar, atau memang aktingnya yang kurang pas.

Saat mereka berdua makan siang, saya menyaksikan dua orang yang sedang membaca skrip film. Tidak terasa Rana yang sedang menceritakan kegetiran hidupnya atau Re yang melontarkan pertanyaan berisi rasa tertarik yang mulai tidak wajar. Kalau saya tidak baca novelnya, hampir tidak mungkin saya percaya bahwa mereka akan menjadi sepasang kekasih.

Setelah itu saya bertemu Arwin di meja makan. Kalau ini saya langsung tahu. Dari caranya memperhatikan Rana, saya tahu dialah suami Rana. Tapi hanya sampai sini saya terkesan. Pada bagian peran penting Arwin dalam cerita, yang membuat saya menangis saat membaca novelnya, kata-kata yang keluar dari mulutnya seperti hasil menghafal untuk ujian, tanpa perasaan.

Reuben dan Dimas saya tidak bisa berkata apa-apa. Tak terbayang seperti apa suasana membuat novel bersama kekasih haha. Tapi tampaknya mereka memang saling mencintai.

Untuk Diva, saya suka dengan glamor dan keangkuhannya. Suka juga sama tatapan matanya yang disebut 'tidak hanya tajam, tapi juga seketika membelah'. Sayang beribu sayang, kalau lagi bicara agak cadel jadi kurang enak pas ngomong panjang-panjang. Tampang berpengetahuan tinggi juga tidak muncul saat dia sedang dalam posisi memberi petuah. Yang saya heran, diva berhasil membuat saya sangat percaya dia koki dan tukang kebun yang baik. Entah karena apa haha. Sayang di film ga ada bolu pandan.

Meski saya merasa para pemeran filmnya kurang mendalami tokoh yang diperankan, tetap saja ada adegan favorit yang menurut saya kerasa asli.

  • Saya suka pas Rana diem bengong didepan kantor setelah di drop-off sama mas Arwin dan pas Rana nyetir pulang dari rumah orang tuanya. Kerasa banget kalo dia banyak pikiran
  • Adegan Arwin favorit pas ngobrol sama Rana di meja makan pertama kali, seisi studio 1 kayaknya ketawa deh dengar isi hati Rana saat menimpali pertanyaan Arwin.
  • Untuk adegan Re saya suka pas di hotel pamit mau meeting dan pas nahan Rana biar ga pulang ke rumah. Pokoknya pas Re lagi marah.
  • Adegan Reuben-Dimas paling berkesan pas pegangan tangan di akhir haha, Bikin perasaan gimana gitu.
  • Diva seru pas diem, benerin pot, dan bikin teh. Terasa dia tokoh hidup yang bukan dewa.

Anyway, selain yang disebutkan di atas, saya suka banget sama animasi/kartun di awal film. Meski dengan berat hati saya harus sarankan narator yang dipilih harusnya bisa lebih merdu dan menghayati untuk animasi sebagus itu.

Setelah selesai ditulis, ternyata isi tulisan ini bukan protes ya. Saya suka dengan detail yang ditulis di novel dan direalisasikan di film. Saya suka hal detail sih memang. Sayang deh adegan-adegan utamanya kurang dapet feel. Padahal bisa jadi bagus nih filmnya. Udah ah itu aja. Bye
eh lupa, rasanya film ini kaya lanjutan 5 cm ga sih?

0 comments:

Post a Comment